Sabtu, 18 Februari 2012

Pengelolaan Terumbu karang dan Ekosistem Lamun


Pengelolaan ekosistem lamun & terumbu karang
A.Ekosistem Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat tumbuh dengan baik dalam lingkungan laut dangkal (WOOD et al. 1969). Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan yang tumbuh di darat.
Pada dasarnya ekosistem lamun memiliki fungsi yang hampir sama dengan ekosistem lain di perairan seperti ekosistem terumbu karang ataupun ekosistem mangrove, seperti sebagai habitat bagi beberapa organism laut, juga tempat perlindungan dan persembunyian dari predator.
Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut  dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun juga mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal.
Selanjutnya, dikatakan Philips & Menez (1988), lamun juga sebagai komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat secara tradisional,antara lain :
  1. Digunakan untuk kompos dan pupuk
  2. Dianyam menjadi keranjang
  3. Tumpukan untuk pematang
  4. Mengisi kasur
  5. Ada yang dimakan
  6. Dibuat jaring ikan
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di perairan yang cukup rentan terhadap perubahan yang terjadi. Sehingga mudah mengalami kerusakan. Ekosistem lamun juga sering dijumpai berdampingan atau saling tumpang tindih dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Bahkan terdapat interkoneksi antar ketiganya, dimana ekspor dan impor energi dan materi terjadi diantara ketiganya. Ada ikan jenis-jenis tertentu dapat berenang melintas batas dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya.
Karena fungsi lamun tak banyak dipahami, banyak padang lamun yang rusak oleh berbagai aktivitas manusia. Luas total padang lamun di Indonesia semula diperkirakan 30.000 km2, tetapi diperkirakan kini telah menyusut sebanyak 30 – 40 %. Kerusakan ekosistem lamun antara lain karena reklamasi dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran, penangkapan ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), dan tangkap lebih (over-fishing).  Pembangunan pelabuhan dan industri di Teluk Banten misalnya, telah melenyapkan ratusan hektar padang lamun. Tutupan lamun di Pulau Pari ( DKI Jakarta) telah berkurang sebanyak 25 % dari tahun 1999 hingga 2004. Kerusakan lamun juga dapat disebabkan oleh natural stress dan anthrogenik stress.

Pengelolaan Ekosistem Lamun
Lamun, merupakan bagian dari beberapa ekosistem dari wilayah pesisir dan lautan perlu dilestarikan, memberikan kontribusi pada peningkatan hasil perikanan dan pada sektor lainya seperti pariwisata. Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian khusus seperti halnya ekosistem lainnya dalam wilayah pesisir untuk mempertahankan kelestariannya melalui pengelolaan secara terpadu.
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam  diberikan porsi yang lebih besar.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai  komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001).
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam  diberikan porsi yang lebih besar.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai  komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001).
Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun adalah pengelolaan berbasis masyakaratak (Community Based Management). Raharjo (1996) mengemukakan  bahwa pengeloaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Dalam konteks ini pula perlu diperhatikan  mengenai karakteristik lokal dari masayakarakat di suatu kawasan. Sering dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan sumber daya alam pesisir adalah dekstrusi masayakarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya adalah untuk mangurangi tekanan  terhadap sumberdaya pesisir termasuk lamun di kawasan tersebut.


a.    Pengelolaan Berwawasan Lingkungan
Dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan laut yang berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan.

b.    Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimanan pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut (Carter, 1996). Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah co-management (pengelolaan bersama), yakni pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat, yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan. Pengelolaan berbasis masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu mengelola sumberdaya mereka dengan baik, sehingga yang dibutuhkan hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah setempat dalam hal pengambilan keputusan, Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dan pemerintah setempat secara bersama-sama sangatlah penting sejak awal kegiatan.
Konsep pengelolaan berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif (Carter, 1996), yaitu: (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, (2) mampu merefleksi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, (3) ampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis, (4) responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan lokal, (5) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen, dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.
Pengelolaan berbasis masyarakat harus mampu memecahkan dua persoalan utama, yaitu: (1) masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem dan konflik antara nelayan tradisional dan industri perikanan modern), dan (2) masalah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan sumberdaya hayati laut (misalnya, berkurangnya daerah padang lamun sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air, pencemaran).

c. .   Pendekatan Kebijakan
            Perumusan kebijaksanaan pengelolaan ekosistem padang lamun memerlukan suatu pendekatan yang dapat diterapkan secara optimal dan berkelanjutan melalui pendekatan keterpaduan. Pendekatan kebijakan ini mengacu kepada pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, yaitu pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, serta merencanakan kegiatan pembangunan. Pengelolaan ekosistem padang lamun secara terpadu mencakup empat aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektoral; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholders (pemakai).



B. Terumbu Karang
Wilayah pesisir dan laut Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin pada keberadaan ekosistem pesisir seperti Terumbu Karang. Terumbu Karang atau coral reefs merupakan ekosistem yang dibangun oleh komponen komponen abiotik, terutama lingkungan perairan dan komponen tumbuhan hayati berupa binatang karang (Coelenterata), ikan, cacing, plankton laut, crustacea, rumput laut, dsb, membentuk suatu harmoni kehidupan yang salingmendukung dalam keseimbangan lestari. Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan, dan umumnya tumbuh di daerah tropis, serta mempunyai produktivitas primer yang tinggi

Fungsi Terumbu Karang
  • Pelindung ekosistem pantai.
  • Rumah bagi banyak jenis mahluk hidup di laut.
  • Sumber obat-obatan.
  • Objek wisata.
  • Daerah Penelitian.
  • Mempunyai nilai spiritual.
Faktor- Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Perkembangan Ekosistem Terumbu Karang
1.        Suhu
2.        Salinitas
3.        Cahaya dan Kedalaman
4.        Kecerahan
5.        Gelombang
6.        Arus
7.       Sedimen

Pengelolaan Terumbu karang
            Aktivitas manusia dalam memanfaatkan potensi sumberdaya terumbu karang sering tumpang tindih dan bahkan banyak diantara aktivitas tersebut menyebabkan kerusakan terumbu karang. Pembukaan hutan mangrove sering menyebabkan penggelontoran sedimen yang tinggi ke perairan karang, lalu lintas kapal diatas perairan karang dapat menyebabkan smashing karang, demikian pula aktivitas pariwisata sering menimbulkan dampak terhadap kehidupan karang.Faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang antara lain :
1.       Penambangan batu karang untuk bahan bangunan, pembangunan jalan danhiasan
2.       Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan alat tangkap tertentu yang pengoperasiannya dapat merusak terumbu karang
3.       Pencemaran perairan oleh berbagai limbah industri, pertanian dan rumah tangga, baik yag berasal dari kegiatan di darat maupun kegiatan di laut Pengendapan (sedimentasi) dan peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi  tanah di daratan maupun kegiatan penggalian dan penambangan di sekitar terumbu karang
4.       Eksploitasi berlebihan sumberdaya perikanan karang
Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka dikhawatirkan ekosistem terumbu karang akan musnah. Karenanya peran serta masyarakat dalam mencintai dan melestarikan terumbu karang sangat dibutuhkan.Salah satu upaya untuk menjaga dan menyelamatkan terumbu karang dari pemanfaatan yang tidak berkelanjutan adalah pengelolaan yang berbasis masyarakat
pengelolaan yang berbasis masyarakat
Secara umum, definisi pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan disuatu daerah berada ditangan organisasi – organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan, dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.
Pomeroy dan Williams (1994) mengatakan bahwa konsep pengelolaan yang mampu menampung kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management atau disingkat Co-Management. Co-management didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dengan pengguna sumberdaya alam lokal (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya alam seperti perikanan, terumbu karang, mangrove dan lain sebagainya.
Pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat dalam kajian ini dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu, yang mana dalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah disemua level dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat). Langkah-langkah dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Komponen input 
2. Studi Awal Secara Partisipatif
3. Peningkatan Kepedulian dan Pengetahuan Masyarakat
4.  Penguatan Kelembagaan, Kebijakan, dan Peraturan
5. Penyusunan Rencana Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Berbasis Masyarakat
6. Penentuan Program Pembangunan
7. Implementasi Rencana
8. Monitoring
9. Evaluasi



Pengelolaan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program
COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.
1. Pentahapan
COREMAP pada awalnya direncanakan untuk 15 tahun, yang terdiri dari tiga tahap. Setelah COREMAP dimulai kemudian terjadi perubahan besar dalam tata pemerintahan di Indonesia, dimana pemenrintahan yang sebelumnya mempunyai kewenangan yang sangat sentralistik menjadi terdesentralisasi.
2. Tujuan dan Kegunaan
Agar pengelolaan sumberdaya dapat terlaksana dengan baik, maka dibutuhkan sebuah rencana pengelolaan yang merupakan perwujudan dari rencana Pemerintah Desa dan masyarakat yang sejalan dengan strategi Pembangunan Daerah. Pembuatan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang sebagai salah satu kegiatan pada program COREMAP II bertujuan untuk;
1.       Memberikan arahan yang jelas dalam pengelolaan sumberdaya desa, agar sasaran pengelolaan dapat dicapai sesuai dengan yang diinginkan.
2.       Mendukung program Pemerintah Desa dan Daerah dalam meletakkan dasar pembangunan
3.       Menumbuh kembangkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya terumbukarang serta sumberdaya lainnya secara mandiri dan berkelanjutan.
Kegunaan dari kegiatan pembentukan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang ini adalah;
1.       Menjadi acuan pelaksanaan pembangunan desa khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan
2.       Sebagai dasar dalam upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pada masyarakat desa disamping peningkatan kelembagaan ditingkat desa, baik yang telah lama terbentuk maupun lembaga yang baru dibentuk
3.       Sebagai pendukung dalam upaya percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa khususnya
3. Visi Program
Yang diharapkan setelah program ini berakhir:
a.       Kekayaan terumbu karang dan ekosistem terkait dapat dilestarikan;
b.       Masyarakatpesisir mencapai keseimbangan antara lingkungan hidup dan kesejahteraan mereka;
c.       Masyarakat pesisir telah berdaya untuk melindungi sendiri lingkungan mereka;
d.       Masyarakat pesisir tidak lagi terasing dari pembangunan;
e.       Kesadaran dan perilaku masyarakat semakin baik terhadap terumbu karang;
f.        Orang luar dapat menghargai apa yang telah dilakukan masyarakat untuk melindungi terumbu karang;
g.       Terciptanya pendekatan kerjasama dan partisipasi antara masyarakat, LSM, dan Pemerintah, untuk mencapai tujuan bersama;
h.       Perilaku destruktif (seperti pemboman) telah merupakan masa lalu;
i.         Nelayan telah dapat memanen ikan tak jauh dari pantai, tak perlu lagi berlayar jauh untuk itu;
j.         Anak-anak dapat bermain di pantai yang indah.

Langkah Strategis yang Seharusnya Dilakukan
Akar permasalahan kerusakan terumbu karang meliputi empat hal yaitu :
1. Kemiskinan masyarakat dan ketiadaan matapencaharian alternatif
2. ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat dan pengguna
3.  lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan
4.  kebijakan pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam
     mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan
     khususnya terumbu karang.
Umumnya Semua faktor yang ada harus segera dicarikan pemecahan yang baik sehingga kegiatan illegal fishing yang terjadi dapat cepat teratasi dan tidak lagi merusak keadaan ekosistem perairan terutama kehidupan ekosistem karang. Apabila faktor tersebut tidak diatasi dengan baik maka diperkirakan dalam beberapa tahun kedepan akan terjadi kerusakan ekosistem perairan secara besar-besaran khususnya daerah karang yang berdampak pada turunnya produktifitas dari perikanan tangkap khususnya pada daerah karang.

Antisipasi yang dapat dilakukan
Dalam menanggulangi permasalahan illegal fishing yang ada sehingga tidak berkelanjutan dan menyebabkan kerusakan yang berdampak besar maka diperlukan solusi yang tepat untuk menekan terjadinya kegiatan tersebut seperti:
1.       peningkatan kesadaran masyarakat nelayan akan bahaya yang ditimbulkan dari
illegal fishing.
2.       peningkatan pemahaman dan pengetahuan nelayan tentang illegal fishing.
3.       melakukan rehabilitasi terumbu karang.
4.       membuat alternatife habitat karang sebagai habitat ikan sehingga daerah karang
alami tidak rusak akibat penangkapan ikan.
5.       mencari akar penyebab dari masing-masing masalah yang timbul dan mencarikan
solusi yang tepat untuk mengatasinya.
6.       melakukan penegakan hukum mengenai perikanan khususnya dalam hal pemanfaatan
yang bertanggung jawab.
7.       meningkatkan pengawasan dengan membuat badabn khusus yang menangani dan
bertanggung jawab terhadap kegiatan illegal fishing.
Dari ketujuh solusi yang dapat dilakukan, hal yang paling mendasar untuk diatasi adalah peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat nelayan mengenai illegal. Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya penyuluhan ke wilayah nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah daerah pesisir. Agar betul-betul bisa langsung menyerang akar permasalahan dan menanamkan kesadaran sejak awal untuk menjaga terumbu karang. Tapi penyuluhan itu tidak akan dapat bertahan lama jika akar dari semua masalah itu tidak segera di selesaikan yaitu faktor kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar